ISLAM DAN PENDIDIKAN PLURALISME
Oleh. Agus
Saputra ( Mahasiswa Ekonomi Manegemen UMS, Ketua Umum PD IPM Wonogiri,
Sekretaris PIMDA Tapak Suci Wonogiri. )
A.
Pendahuluan
Banyak para ahli
dan pemuka agama’ telah berusaha dengan segala cara demi terciptanya hubungan
yang mesra dan harmonis diantara umat beragama, di negeri Indonesia yang
terkenal sangat pluralistik ini. Melalui tulisan-tulisan baik buku, majalah,
jurnal bahkan melalui seminar dan mimbar-mimbar ‘khutbah’—mereka senantiasa
menyarankan akan arti pentingnya kerjasama dan dialog antar umat beragama.
Meskipun nampaknya, saran-saran mereka
belum memiliki ‘efek’ yang begitu menggembirakan.
Seringnya konflik
dan pertikaian yang menggunakan ‘baju agama’, merebaknya aksi-aksi teroris,
pembakaran dan pengrusakan sarana dan tempat-tempat ibadah di negara kita,
masih saling curiga mencurigai antara umat Islam dan Kristen serta kepada
agama-agama lainya, cukup membuktikan kegagalan para penganjur ‘perdamaian’
tersebut. Meskipun begitu, ‘doktrin’ perdamaian dan persahabatan ini harus
senantiasa kita teruskan, kemudian kita coba kembangkan dan dakwahkan, melalui
strategi-strategi baru yang lebih efektif dan relevan, kepada saudara-saudara
kita, teman-teman dan peserta didik kita kapan pun dan dimana pun kita berada.
Padahal
berteologi semacam itu, harus kita akui, sebagai sesuatu yang sangat
menghawatirkan dan dapat mengganggu keharmonisan
masyarakat agama-agama dalam era pluralistik sekarang. Suatu era dimana seluruh
masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk dapat saling tergantung dan
menaggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi.
Disinilah letak ‘tantangan’ bagi agama (termasuk Islam) untuk kembali
mendefenisikan dirinya ditengah agama-agama lain. Atau dengan meminjam
bahasanya John Lyden, seorang ahli agama-agama, adalah “what should one think about religions other than one’s own? Apa
yang harus dipikirkan oleh seorang muslim terhadap non-Muslim. Apakah masih
sebagai seorang musuh atau sebagai seorang sahabat. Tentu saja masih adanya
anggapan satu agama dengan yang lain sebagai musuh, harus dibuang jauh-jauh.
Bukankah pada hakikatnya kita semua adalah sebagai seorang ‘saudara’ dan
‘sahabat’ dalam menghampiri yang mutlak? Bahkan, Islam melalui Al-Qur’an dan
Hadistnya juga mengajarkan sikap-sikap toleran seperti ini bukan?
B.
Pengertian Pluralisme
Entah kenapa
ketika mendengar kata “pluralisme”, sebagian dari kebanyakan umat Islam harus
menutup kuping mereka rapat-rapat. Seolah-olah pluralisme ini telah dianggap
oleh mereka, sebagai “hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Orang yang mencoba menjelaskan dan mewacanakannya pun
juga terkena imbasnya, tak sedikit dari mereka yang telah di hujat, dicaci maki
dan dikucilkan—tidak hanya dianggap sebagai antek-antek Barat, tetapi juga
telah “diklaim” sebagai calon penghuni neraka. Masyaallah..!
Bukankah kalau
mau jujur, selama ini kita juga telah ikut merasakan dan menikmati
produk-produk barat akibat keunggulan IPTEK yang dimilikinya? Janganlah menutup
mata, kalau kita selama ini bisa berkomunikasi jarak jauh dengan HP, faximile
dan internet serta bisa bepergian keseluruh dunia (termasuk menunaikan ibadah
haji ke mekkah) dengan naik pesawat,
mobil dan kapal—adalah berkat Barat.
Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa
sesuatu yang datang dari Barat ternyata tidak selamanya jelek dan bertentangan
dengan Islam. Semuanya sebenarnya
tergantung bagaimana cara kita menyikapi dan mempergunakanya. Sebagai contoh,
kalau kita tidak dapat secara arif dan bijaksana mempergunakan sains dan
teknologi, maka hal ini pastilah akan berimplikasi negatif bagi kehidupan
manusia, yaitu menyebabkan terjadinya krisis dalam berbagai bidang
kehidupan. Bukankah contoh seperti ini
juga berlaku bagi paham pluralisme?
Apakah
sebenarnya pluralisme itu? kalau melacak dari beberapa sumber, dapatlah
didefenisikan bahwa pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Paham,
bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang
agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang
benar atau semua agama benar.
Pluralisme sebenarnya
telah lama menimbulkan perdebatan di kalangan umat beragama. Sampai akhirnya,
pembicaraan mengenai pluralisme sempat “menghangat” kembali ketika MUI melalui
fatwanya baru-baru ini, menyatakan bahwa pluralisme adalah paham yang sesat dan sangat membahayakan,
karena dianggap sebagai paham yang menyebarkan “ semua agama adalah benar”.
Fatwa MUI yang
melarang pluralisme seperti itu, kemudian menunai banyak protes dari masyarakat
luas. Karena dianggap fatwa MUI seperti
itu akan sangat membahayakan bagi integritas bangsa Indonesia yang pluralistik.
Bahkan, salah satu dari ketua MUI ketika menanggapi protes dari berbagai
kalangan, ada yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang protes itu
berdasarkan akal, sedangkan ulama (MUI) berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasul.
Menurut
Alquran pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia,
sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah,
dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti,
mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia
berbeda-beda dalam beragama. Dalam al-Qura’an disebutkan, yang artinya: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan
dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua
kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah
kamu perselisihkan” (QS 5: 48).
Dalam kaitannya yang langsung dengan
prinsip inilah Allah, di dalam Alquran, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika
ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia
menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika
Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan
beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka
sendiri? (QS 10: 99).
Demikianlah beberapa prinsip dasar Alquran yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan toleransi. Paling tidak, dalan dataran konseptual, Alquran telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
C. Pembahasan ( Isi )
1. Islam Dan Pluralisme
Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan
wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan
memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen
dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat
intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka.
Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif
bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain
yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an.
Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan
Islam-terhadap agama lain---pluralitas
adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis
hukum Allah atau Sunnah Allah,
sebagaimana firman Allah SWT: “ Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Al
Hujurat 49: 13).
Kenapa kita
diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun
berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama
lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di
hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa
jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan
dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu
sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah:
48).
Bahkan konsep
unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini.
Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan
sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi
karaketer positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari
berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl
al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan
karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok
dengan jalinan emosional (aqrabahum
mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).
2. Islam Memerintahkan Untuk Bersikap ‘Toleran’ Kepada Agama lain
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).
4. Perlunya Pendidikan Pluralisme
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak
suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk
pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang
berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang
beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik
keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan
“pendidikan pluralisme”.
Apakah
sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang
pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut
atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun
literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah.
Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) mengartikan pendidikan multikultural sebagai any set of proces by which schools work with
rather than against oppressed group.
Banks, dalam bukunya Multicultural
education: historical development, dimension, and practice (1993)
menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan
bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Memperhatikan
beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara
sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
6. Menampilkan Islam Toleran di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa.
Mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik di era
sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di
Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama Islam perlu segera
menampilkan ajaran-ajaran Islam yang
toleran melalui kurikulum pendidikanya dengan tujuan dan menitikberatkan pada
pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya,
baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme
dan eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap
pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda kita
melalui dimensi-dimensi pendidikan agama dengan memperhatikan hal-hal seperti
berikut:
- Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
- Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.
- Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
- Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
- Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.
Sebagaimana telah banyak diketahui umat Islam, aqidah berasal
dari bahasa Arab yang berarti “kepercayaan”, maksudnya ialah hal-hal yang
diyakini oleh orang-orang beragama. Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan
dengan iman. Aqidah adalah ajaran sentral dalam Islam dan menjadi inti risalah
Islam melalui Muhammad. Tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan
seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah.
Masalahnya karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat
diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari,
terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika harus berhadapan dengan
“keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi persoalan iman ini, juga
merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya milik Islam saja. Maka, tak
heran jika kemudian muncul persoalan truth
claim dan salvation claim
diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan konflik antar agama.
Untuk mengatasi persoalan seperti itu, pendidikan agama Islam
melalui ajaran aqidahnya, perlu menekankan pentingnya “persaudaraan” umat
beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik
untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada
Allah swt, nabi Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti pentingya
penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus
berbuntut dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-Karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak yang baik
pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.
Pendidikan Islam harus sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan
bernuasan SARA seperti yang sering terjadi di Indonesia ini adalah akibat
ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat kita, seperti ekspresi
keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik serta fanatisme untuk
memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi keagamaan seperti itu
merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan agama dipandang masih
banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak seakidah)
sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya
menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual
dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.
Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa
bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama dengan peserta didik
berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai
keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama
orang lain.
Target kurikulum Agama
Islam harus berorientasi pada akhlak. Bahkan dalam pengajaran akidahnya,
kalau perlu semua peserta didik disuruh merasakan jadi orang yang beragama lain
atau atheis sekalipun. Tujuanya adalah bukan untuk “konfersi”, melainkan dalam
rangka agar mereka mempertahankan iman. Sebab, akidah itu harus dipahami
sendiri, bukan dengan cara taklid, taklid tidak dibenarkan dalam persoalan
akidah. Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah. Dalam persoalan syariah,
sering umat Islam juga berbeda pendapat dan bertengkar. Maka dalam hal ini pendidikan
Islam perlu . memberikan pelajaran “fiqih muqarran”untuk memberikan penjelasan
adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki
argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah
satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah
kepada mereka masing-masing.
Melalui suasana pendidikan seperti itu, tentu saja akan
terbangun suasana saling menenami dalam kehidupan beragama secara dewasa, tidak
ada perbedaan yang berarti diantara “perbedaan”manusia yang pada realitasnya
memang berbeda. Tidak dikenal superior ataupun inferior, serta memungkinkan
terbentuknya suasana dialog yang memungkinkan untuk membuka wawasan
spritualitas baru tentang keagamaan dan keimanan masing-masing.
Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh
setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa didialogkan
antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan pengalaman
kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati
dan menyakini iman itu adalah manusia, dan bukanya Tuhan), dan pada tingkat
tertentu iman itu bisa didialogkan oleh manusia, antar sesama manusia dan
dengan menggunakan bahasa manusia.
Tujuan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua
manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam beragama, salah
satunya bisa diajarkan lewat pendidikan akidah yang inklusif. Dalam
pembelajaranya, tentu saja memberikan perbandingan dengan akidah yang dimiliki
oleh agama lain (perbandingan agama). Meminjam bahasanya Alex Roger (1982:
61-62), pendidikan akidah seperti itu mensyaratkan adanya fairly and sensitively dan bersikap terbuka (open minded). Tentu saja, pengajaran agama seperti itu, sekaligus
menuntut untuk bersikap “objektif” sekaligus “subjektif”. Objektif, maksudnya sadar bahwa membicarakan
banyak iman secara fair itu tanpa harus meminta pertanyaan mengenai benar atau
validnya suatu agama. Subjektif berarti sadar bahwa pengajaran seperti itu
sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap peserta didik memahami dan
merasakan sejauh mana keimana tentang suatu agama itu dapat dirasakan oleh
orang yang mempercayainya.
Melalui pengajaran akidah inklusif seperti itu, tentu saja
bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena hal
itu adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. yang
dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara
teologis oleh masing-masing agama. setiap agama mempunyai sisi ideal secara
filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut suatu agama, serta
yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mencari dasar rasional
atas keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi real, yaitu suatu
agama menyejarah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan yang biasa dinilai
dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh karena itu, suatu
dialog dalam perbandingan agama harus selalu mengandalkan kerendahan hati untuk
membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak
dibandingkan, dan realitas agama—baik yang agung atau yang memalukan—dengan
realitas agama lain yang agung atau memalukan itu dengan demikian, akan dapat
terhindar dari suatu penilai stndar ganda dalam melihat agama lain.
C.
Kesimpulan
Ploralisme tidak harus selamanya kita
maknai sebagai penjahat menakutkan yang menyerang eksistensi islam, akan tetapi
cara pemaknaan dan penerapan pluralisme harus sesuai porsi dan tidak boleh
melanggar syariat islam.
Pluralisme membawa manfaat begi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Khusus di Indonesia pluralisme akan sangat
bermanfaat bagi bangsa ini terutama dalam hal kerukunan antar umat beragama di
karenakan kemajemukan adat istiadat dan agaa di Indonesia.
Kalau tujuan
akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang,
maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar
memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga
akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama
Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada
agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan
solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang
diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang
isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya
untuk menyusun bentuk kurikulum pendidikan
agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Amin,
M., (1999), Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi, 1998, Esai-esai
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisme Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hidayat, Komaruddin, 1998, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina.
Mulkhan, Munir, Abdul, (2002), Nalar Spritual Pendidikan, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Siradj, Agiel, Said, (1999), Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka
Ciganjur.
Tilar, H. A. R., 2000, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.A
Ma’arif, Syamsul ,( 2006), Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui
Kurikulum PAIBerbasis Kemajemukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar